KOMISI VIII LAKUKAN KAJIAN TERHADAP RUU FAKIR MISKIN
Komisi VIII tengah melakukan kajian yang mendalam terhadap RUU tentang Fakir Miskin yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Salah satu kajiannya adalah terkait dengan masalah anak jalanan.
Hal ini ditegaskan oleh Ketua Komisi VIII DPR, Abdul Kadir Karding saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja RUU tentang Fakir Miskin dengan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial, Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri, Badan Pusat Statistik, Ditjen Yarehsos dan Banjamsos, Direktur Anggaran I, II, III dan Sesmenko Kesra, di Gedung Nusantara II DPR, Selasa (4/5).
Oleh karena itu, tegas Kadir, Komisi VIII ingin mendapatkan masukan-masukan tentang data dan fakta fakir miskin. Kemudian bagaimana dengan peran pemerintah daerah dalam pemberdayaan fakir miskin, dan dukungan alokasi anggaran untuk penanganan kemiskinan dalam APBN.
“Hal-hal yang menjadi kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah harus dipertegas dan diperjelas,” tambahnya.
Sementara itu, Dirjen Otonomi Daerah Mendagri, S. Situmorang mengatakan, agar RUU ini tidak bertentangan dengan undang-undang lain, terutama dengan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Karena, jelas Situmorang, disitu sudah dirumuskan apa yang menjadi hak, apa yang menjadi kewajiban daerah, apa yang menjadi kewenangan daerah mengenai terminologi inipun RUU ini belum jelas hak orang dan kewajiban orang.
Kita mau bicara orang atau warga Negara, kata Situmorang seraya menambahkan itu perlu nanti ada keputusan kita dari RUU ini.
Ia berpendapat, jangan hanya pemerintah dan pemerintah daerah saja yang bertanggungjawab mengenai fakir miskin, masyarakat yang mempunyai usaha pun perlu juga berpartisipasi dalam menangani fakir miskin dan harus diberi tanggungjawab, tegasnya.
“Jangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, semua harus ikut berpartisipasi dalam penanganan kemiskinan. Tapi jangan membuat tim RUU kecil hati, harus diperjelas pembagian pusat dan daerah,” tambahnya.
Situmorang menambahkan, Undang-undang ini tanggungjawab kita bersama. RUU ini jangan mendorong masyarakat kita menjadi tidak mandiri, terminologi fakir miskin harus tepat karena RUU ini penting untuk melindungi masyarakat Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Ditjen Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial, Rusli Wahid menyambut baik adanya usulan inisiatif DPR atas RUU tentang Fakir Miskin. Hal ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan fakir miskin secara umum saat ini telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, jelas Rusli, RUU ini nantinya diharapkan dijadikan landasan hukum yang kuat dalam pelayanan sosial terhadap fakir miskin sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang memerlukan perhatian semua pihak.
Menurutnya, draft RUU ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pembukaan dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ia berharap, RUU ini dapat mengatur hal-hal yang bersifat strategis tapi menyeluruh terhadap penanganan fakir miskin sebagaimana judul RUU ini dapat menjadi landasan hukum terhadap upaya pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Anggota Komisi VIII Ade Supriatna dari F-PG senada bahwa untuk kesejahteraan rakyat perlu dibuat payung hukumnya. “Karena kita ingin kemiskinan segera ditangani,” tuturnya.(iw)